![](https://djadja.wordpress.com/wp-content/uploads/2024/01/facebook_1706140796928_7156073169121695262.jpg?w=720)
Abah Anom diasuh oleh Ayra Cucu Abah yang Sholehah dan Qurrota Ayyun sambil dibacakan dongeng majalah Bobo edisi fenomenal 50 tahun.
Dulu berlangganan dari edisi awal saat SD sampai SMA masih dibaca karena jiwa kekanak-kanakan itu adalah kunci 😁😂😀
Kata penulis George Saunders dalam pidatonya Congratulations, By the Way, orang-orang tua punya tiga manfaat bagi anak muda: Meminjamkan duit; jadi bahan lelucon; dan menceritakan penyesalannya dalam hidup. Terkadang, bagi saya, peran mereka yang lansia ketambahan satu lagi: Main bareng cucu. Dan sering kali, bagi cucu, kakek-nenek jadi taman bermain terbaik mereka.
Saya pribadi banyak teringat bagaimana kedekatan saya dengan kakek-nenek. Mereka sangat dekat sampai wafat ketika usia saya dewasa masih sangat terkenang ingatan kebaikan mereka. Namun, ketika akhirnya saya punya anak, saya bisa melihat bagaimana orang tua saya bermain bersama cucu mereka. Dan rasanya sudah lama sekali kehangatan seperti itu saya alami.
Mertua saya juga demikian. Setelah istri saya melahirkan dan rasa sakitnya membaik, saya perhatikan mereka lebih sering berlama-lama dengan cucu pertama mereka. Seminggu awal pasca kelahiran, anak saya tidur bersama kakek-neneknya. Ibu mertua saya baru mengetuk pintu kamar lewat tengah malam ketika anak saya merengek minta susu. Sehabis istri menyusui, anak saya dibawa lagi ke kamarnya.
![](https://djadja.wordpress.com/wp-content/uploads/2024/01/wp-1706140966585.jpg)
![](https://djadja.wordpress.com/wp-content/uploads/2024/01/wp-1706140948744.jpg)
![](https://djadja.wordpress.com/wp-content/uploads/2024/01/wp-1706140929737.jpg)
“Sudah ditaruh di sini saja sampai setahun,” begitu ujar ibu mertua saat tiba waktunya saya memboyong kembali istri dan anak saya ke Jakarta.
Sampai hari ini, hampir tiap malam mertua saya menelepon ke rumah. Pertanyaannya selalu sama, “Mana cucu Uti?”
Ibu saya jarang menelepon karena tiap akhir pekan kami menginap di tempatnya. Namun, di rumah yang selalu dicari ya cucunya. Agaknya, bagi ibu saya, lebih baik istri saya menengok mertuanya sambil membawa anak ketimbang suami. Dan di rumah orang tua, ayah-ibu selalu berebut bermain dengan anak saya yang baru bisa tengkurap dan merangkak dua langkah.
Cerita serupa sering saya dengar dari orang-orang sekitar, betapa kakek-nenek acap kali lebih sayang ke cucu ketimbang anaknya. Kadang, orang tua selain merasa terbantu juga kerepotan sendiri karena pola pengasuhan yang berbeda. Kakek-nenek cenderung lebih permisif dan luwes kepada cucunya, murah hati membelikan apa pun yang dibatasi orang tua, dan membiarkan cucunya melakukan apa saja. Tak heran kalau banyak cucu memfavoritkan kakek-nenek mereka.
Awalnya, saya kira alasan sikap kakek-nenek itu semata-mata rasa penyesalan mereka yang kurang bermain dengan anak-anak mereka dulu. Ternyata, ada penelitian yang membahas ikatan khusus antara nenek dan cucu. Penelitian yang dipimpin James Rilling, penulis utama dan profesor di Departemen Antropologi Universitas Emory itu membuka mata saya lebih lebar mengapa kakek-nenek cenderung lebih sayang ke cucunya.
![](https://djadja.wordpress.com/wp-content/uploads/2024/01/facebook_1706140796928_7156073169121695262.jpg)
![](https://djadja.wordpress.com/wp-content/uploads/2024/01/wp-1706140900093.jpg)
![](https://djadja.wordpress.com/wp-content/uploads/2024/01/wp-1706140916396.jpg)
Sementara kepada anak mereka yang sudah dewasa, nenek cenderung memahami secara kognitif apa yang mereka pikirkan, apa alasan dari sikap mereka, tetapi tidak berbagi terlalu banyak sisi emosional.
“Anak-anak kemungkinan telah mengembangkan sifat untuk dapat memanipulasi bukan hanya otak maternal, tetapi juga otak maternal khusus,” kata Rilling.
“Anak dewasa tidak memiliki ‘faktor’ lucu yang sama, sehingga mereka mungkin tidak menimbulkan respons emosional yang sama,” lanjutnya.
Selain karena faktor lucu anak kecil, para peneliti juga mencatat kalau perbedaan respons emosional ini mungkin berhubungan dengan kebebasan yang dimiliki kakek-nenek kepada cucunya ketimbang orang tua kepada anaknya, di mana orang tua masih terbebani kewajiban ekonomi untuk membesarkan anaknya.
“Banyak dari mereka mengatakan betapa menyenangkannya tidak terbebani oleh tekanan waktu dan keuangan seperti yang mereka alami ketika membesarkan anak-anak mereka,” kata Rilling. “Mereka dapat menikmati pengalaman menjadi nenek lebih daripada ketika mereka menjadi orang tua.”